Kesibukan masing-masing menyebabkan frekuensi pertemuan kami semakin berkurang, terutama pasca terbentuknya formasi terakhir. Tur demi tur ditambah pembuatan album, Slank secara rutin merilis setiap tahun, sepertinya telah mengepung keseharian mereka. Saya tetap mengikuti kegiatannya melalui berbagai pemberitaan cetak, elektronik mau pun online. Sesekali saja bertukar kabar dengan para personelnya, termasuk dengan dua eksponennya: Rustam dan Oppie Andaresta. Waktu, usia dan popularitas tidak mengubah karakter mereka. Tetap rock and roll, spontan dan selalu muncul celetukan segar.

Dengan Oppie saya bahkan sama-sama duduk sebagai Tim Kategorisasi Indonesia Choice Awards, sebuah program awarding sebuah televisi swasta yang kini sudah memasuki tahun penyelenggaraan kelima. Sebelumnya sempat juga menulis artikel kolom di Loud milik Ridho Hafiedz hingga free mags yang sebenarnya dikemas dengan bagus tersebut harus diakhiri penerbitannya.
Tahun 2008 Slank merilis album internasional berjudul Anthem For The Broken Heart. Sebuah langkah serius mengingat nama-nama yang terlibat di balik pengerjaannya tidak main-main. Ada Blues Saraceno yang ditunjuk sebagai produser. Gitaris hard rock ini pernah berkontribusi pada album Poison, Kingdome Come, Taylor Dayne, Cher, Melissa Etheridge dan Ziggy Marley. Sedangkan untuk proses mastering dikerjakan oleh Bernie Grundman – kawan baiknya Dewa Budjana.
Merilis album secara internasional merupakan cita-cita sejak lama. Bukan semata-mata biar karya mereka ter-display di sana. Slank adalah band penghasil 41 album, temasuk album live, soundtrack dan De-Best-nya Slank (2000). Cerita seputar kehidupan mereka pun telah berulang kali diangkat ke layar lebar. Berbagai produk terkenal silih berganti menggunakan popularitasnya sebagai ambasador. Belakangan mereka bahkan mengeluarkan produksi sendiri, Slankopi, dan kini tengah menyiapkan produk baru yang namanya masih dirahasiakan. Slankers, massa Slank, mencapai jumlah jutaan yang terserak di berbagai pelosok Indonesia, merentang dari Aceh hingga Papua.
Pada sisi lain berbagai bekerhasilan Slank, yang mungkin tak semua band di sini mampu mencapainya, melahirkan implikasi baru. Slank hampir tak punya “musuh” karea hampir semua tantangan sudah mereka taklukan.
“Apa lagi sih yang belum kami lakukan di Indonesia? Semua sudah dicoba,” kata Abdee Negara dalam sebuah perbincangan beberapa tahun lalu. Hanya saja tanpa bermaksud melupakan bahwa sebagai band masih banyak tugas yang harus mereka kerjakan.

Maka, adalah wajar jika wacana album internasional tadi muncul ke permukaaan. Itu pun kabarnya tetap menempuh jalur indie yang tentu saja mereka harus siap menghadapi labirin industri musik di sana. Ini dikarenakan menghindari jalur mainstream agar kebebasan kreatif mereka tidak dibonsai. Untuk itu Los Angeles dipilih sebagai titik awal upaya tersebut. Di sana mempercayakan tour organizer. kepada Justin118 Sound. Keinginan Abdee untuk memilih Kanada sebagai basis pergerakan segera ditepis keempat personel lain.
“LA itu semacam basic-nya musik dunia. Dulu ada Seattle sound tapi balik-baliknya kan ke LA juga,” jelas Ridho.
Setidaknya ada pelajaran yang dapat dipetik dari kerjasama dengan pihak sana, yaitu bagaimana profesionalisme menjadi dasar dari segala pekerjaan. Jauh sebelum keberangkatan ke Amerika, management Pulau Biru sudah mendapat informasi jadwal rekaman, istirahat dan kapan saja saat senggang untuk jalan-jalan. Lalu apakah berkarir di negara sendiri sudah tidak lagi menawarkan tantangan?
Menurut Bimbim, fokus Slank kini lebih pada persoalan sosial. Bandnya ingin turut menata kadaan, membangkitkan semangat masyarakat dengan musik sebagai medium penyampaian misi tersebut. “Pada akhirnya Slank bermusik untuk itu.”
Wujud kongkrit dari pernyataan di atas, salah satunya, terjadi pada suatu hari tanggal 9 Juni 2014. Saat itu sebuah pesan pendek bergetar di selular saya. Pengirimnya, Rustam Rastamanis. Isinya mengundang saya hadir di maskas Slank untuk diminta merevisi naskah pernyataan musisi yang akan dibacakan pada konser Revolusi Harmoni Untuk Revolusi Mental di Parkir Timur Senayan, Jakarta, 11 Juni 2014. Saya langsung ngeh, saat itu Pilpres lagi panas-panasnya.
Keesokan harinya sejumlah musisi terlihat hilir-musik. Beberapa di antaranya terlihat sibuk berkomunikasi dengan handphone masing-masing Di tengah kesibukan itulah saya, Rustam, Oppie Andaresta dan Bimbim berkutat menyelesaikan naskah pernyataan yang akan dibacakan. Waktu itu kami merasa teksnya kepanjangan. Oppie memperhitungkan bahwa mereka mungkin tidak akan memiliki waktu cukup untuk membacaan dikarenakan banyaknya musisi yang ambil bagian.

Meski berlangsung santai, namun sebenarnya di markas itu terdapat aura ketegangan di balik perbincangan yang dilakukan setengah bisik-bisik dan krang-kring suara panggilan handphone. Tersiar kabar bahwa elektabilitas Jokowi nyaris terlibas oleh kubu Prabowo. Beberapa kali Abdee menanyakan naskah hasil editing yang akan disebarnya ke sejumlah pihak, termasuk media massa. “Sudah belum?”
Setelah memotori konser Revolusi Harmoni Untuk Revolusi Mental, Slank kembali berperan penting dalam terwujudnya Konser 2 Jari yang berlangsung gegap gempita di Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014. Itulah bagian dari upaya menggalang dukungan untuk calon presiden, ketika itu, Jokowi. Kali ini musisi yang terlibat semakin tumpah ruah. Massa ketika itu diperkirakan mencapai 100 ribu. Fakta yang cukup menakutkan mengingat Konser 2 Jari tidak diserta satuan pengamanan yang mencukupi. Sendainya saja tengah di lautan manusia itu terdapat pihak-pihak yang berusaha memancing kerusuhan, kelar acara!
Dari samping panggung saya memperhatikan Kaka yang mengenakan kaos dan celana ketat serba hitam berlarian membakar semangat. Nampak sekali ia sangat menguasai medan. Lalu sekelebat saya teringat saya pertama kali mewawancarai Slank dalam rangka peluncuran album pertama, awal 1990-an, dia satu-satunya personel yang menghindar untuk diwawancara. Kaka memilih duduk mencangking di samping rumah Bunda Iffet, sambil melahap nasi rames.
Suka atau tidak, moment sore itu turut berhasil mengantarkan Jokowi ke posisi RI 1. Usai pelantikannya sebagai presiden ke-7, Slank kembali tampil dalam Konser 3 Jari. Kali ini mengambil lokasi di silang Monas.
Usai keseruan tersebut muncul suara-suara yang menuding bahwa Slank mulai bemain politik. Tidak netral dan tudingan miring lainnya. Respons negatif ini nampaknya sudah diantisipasi dan mereka memilih cuek. Sebelum memulai penyuntingan teks pernyataan sikap musisi tadi, saya sempat menyampaikan kekhawatiran tentang netralitas Slank hal ini. Akan tetapi Bimbim nampak tidak terlalu khawatir.

“Pada intinya kita mendukung calon presiden yang baik, dan mengantarnya sampai istana biar bisa membenahi negara ini. Kebetulan saja kandidat itu Jokowi. Kalau suatu saat nanti pemerintahan Jokowi ngaco, ya kita akan turun lagi ke jalan,” katanya tentang gerakan itu.
Tanpa harus menjelaskan secara panjang lebar, Slank dapat membungkam berbagai prasangka buruk yang dialamatkan ke mereka melalui pembuktian terbalik. Mereka telah melakukan banyak hal dalam karirnya. Dari kelompok yang dianggap mengganggu lingkungan jalanPotlot, melewati prahara, hingga menjadi band yang dielu-elukan.. Mereka berhasil merebut kepercayaan berbagai lapisan masyarakat. Dari gang kumuh hingga Istana Negara.
Kini kerikil itu telah bermetamorfosa menjadi batu karang. (*)