Slank formasi 13

Di bagian samping rumah itu, menghadap ke jalan Potlot lll, terdapat warung nasi – sekarang terkenal dengan nama WarSlank. Duduk mencangking bersendal jepit, di sana si empunya nama tengah melahap nasi rames. Kaka cuma menjawab, “Ye,” ketika sepupunya itu kembali memanggil dirinya.  Akan tetapi sampai wawancara tuntas menjelang sore hari, personel termuda itu tak juga datang bergabung.

Itulah pertemuan pertama saya dengan Slank. Sebelumnya beberapa kali pernah meliput pertunjukan mereka sewaktu masih bernama Cikini Stone Complex namun tak pernah ada hal menarik yang mendorong munculnya sebuah tulisan khusus tentang mereka. Baru setelah berubah nama menjadi Slank dan merilis album pertama disusul yang kedua, Kampungan (1991), saya mulai tertarik mengamati sepak terjang mereka lebih jauh. Dengan mengangkat tema keseharian khas anak muda, mereka sangat spontan dalam merangkai kosakata. Lugas tanpa rekayasa dan bahkan sama sekali tidak menggubris struktur bahasa Indonesia yang baku. Di tengah stereotip ungkapan lirik-lirik lagu yang bersandar kepada kaidah bahasa, jelas lirik lagu-lagu Slank lebih memiliki kedekatan secara emosional. Akrab sekaligus terkesan kurang ajar.

Slank formasi 4
Pertemuan dengan Slank akhirnya tidak lagi sebatas keperluan wawancara untuk kegiatan musik mereka, melainkan lebih ke bentuk diskusi hal-hal aktual di seputar perkembangan industri musik. Sesekali nyelonong ke soal politik – mereka memiliki kepekaan luar biasa pada topik ini. Perbincangan kadang dilakukan sepintas di backstage sebelum mentas, kadang sambil nongkrong di markasnya hingga larut malam. Dari sini banyak informasi bisa digali tentang sikap mereka, tentang alasan untuk tidak bernaung di bawah major label, kegigihan dalam mengkampanyekan anti korupsi, serta positioning-nya sebagai penyuara kaum marjinal. Namun tidak jarang acara nongkrong hanya diisi dengan ketawa-ketiwi. Secara alamiah markas Slank menjadi tempat mangkal anak muda kreatif. Di sana Imanez, Oppie Andaresta, Dimas Jayadiningrat (belakangan lebih dikenal sebagai videomaker), Dade, atau Rustam Rastamanis, cowok yang banyak menyumbang lirik untuk lagu Slank, kerap terlihat kumpul-kumpul.
Sebagai band baru yang tengah membentuk jati diri, penampilan personel Slank terbilang berantakan. Bimbim pernah menganalogikannya sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Ketika band seangkatannya sibuk bicara cinta dalam balutan musik pop, Slank muncul sebagai kekuatan parlemen jalanan, mengeritik dari atas gerbong rock and roll. Namun kesehariannya yang serba permisif menjadi triggeryang mencemplungkan mereka ke dalam pusaran ‘sex, drugs & rock n’ roll’. Sudah bukan rahasia lagi bahwa markas mereka merupakan salah satu basis peredaran narkoba di kawasan Jakarta Selatan. Ketergantungan pada obat-obatan menyebabkan penampakan personel Slank nampak kurus dan memprihatinkan. Sama lusuhnya dengan para Slankers yang berkeliaran dengan bebas di markas mereka.
Belitan narkoba bukanlah satu-satu badai yang menghantam eksistensi Slank. Tetapi juga perpecahan, hal yang ditakutkan oleh band mana pun namun selalu tak pernah bisa dihindari. Kabar serupa tersiar pula dari jalan Potlot. Hingga suatu sore, telepon di kantor saya berdering. Peneleponnya, Bongky Marcel.
“Gua dipecat,” katanya datar. “Ada suratnya.”
Merasa tidak percaya, saya lantas menantangnya untuk memperlihakan surat pemecatan tersebut – jika memang benar ada. Keesokannya bassis itu benar-benar muncul ditemani Pay dan Indra. Panjang lebar mereka berceloteh seputar akar permasalahannya, tapi tentu saja saya tak akan ceritakan secara rinci di sini. (Bersambung)